Oleh : HENDRA KASIM
Dosen FH UMMU /
Advokat dan Legal Konsultan
Peraturan
Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 1 Tahun 2017 tentang Tahapan, Program dan Jadwal
Peyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,
dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2018 sejak tanggal 9 sampai 22
November 2017 KPU wajib menyampaikan pengumuman syarat minimal dukungan bagi
calon Kepala Daerah Perseorangan. Calon Kepala Daerah Perseorangan bukanlah hal
baru dalam model pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia.
Legitimasi Regulasi
Pada
awalnya, seseorang yang ingin mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah hanya
dapat melalui jalur parpol sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) dan (2)
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dalam Pasal tersebut
mengisyaratkan bahwa Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu
pasangan calon yang diusulkan oleh parpol. Dengan demikian, jelas sudah bahwa
pada UU No. 32 tahun 2004 calon Kepala Daerah melalui jalur Perseorangan tidak
diberi ruang untuk dapat terlibat aktif dalam partisipasi politik lokal.
Mekanisme
ini berubah bersamaan dengan diundangkannya UU No. 12 tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejak saat
itu, jalur Perseorangan untuk seseorang mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah
terbuka lebar dalam iklim politik lokal di Indonesia.
Saat
ini UU yang mengatur mengenai Pilkada adalah UU No. 1 Tahun 2015 yang telah
diubah sebagian oleh UU no. 8 Tahun 2015 yang juga telah diubah sebagian untuk
kedua kalinya didalam UU No. 10 Tahun 2016. Khusus mengenai syarat calon Kepala
Daerah Perseorangan disampaikan dalam Pasal 41 UU No. 10 Tahun 2016.
Misalnya,
jika ingin mencalonkan diri sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, diatur dalam
Pasal 41 menyebutkan bahwa provinsi dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT)
pada Pemilu sebelumnya sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung
sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen); provinsi dengan jumlah DPT dari
2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung
sekurang-kurangnya 8,5% (delapan koma lima persen); provinsi dengan jumlah DPT
lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa
harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen); dan provinsi
dengan jumlah DPT lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung
sekurang-kurangnya 6,5% (tiga persen). Dukungan terhadap tersebut, harus
tersebar merata lebih dari 50% jumlah Kab/Kota di Provinsi dimaksud.
Memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan diatas, dalam konteks Malut untuk dapat
menjadi calon Gubernur dan Wakil Gubernur pada proses demokrasi diwaktu dekat
ini, setidak-tidaknya hinnga 22 November 2017 berdasarkan Keputusan KPU Prov.
Maluku Utara No. 27/Kpts/KPUProv-029/Tahun 2017 DPT pada pilkada sebelumnya
yakni Pilkada serentak tahun 2015 dan 2017 jumlah DPT Maluku Utara adalah
sebesar 857.703 jiwa, itu berarti paling tidak Calon
Kepala Daerah Perseorangan harus mendapat dukungan dari 86.000 jiwa yang
terdaftar dalam DPT Pilkada sebelumnya dan tersebar paling tidak pada 6 (enam)
Kabupaten/Kota di Maluku Utara.
Sekilas
menyimak ketentuan kuorum yang harus dipenuhi seorang calon Kepala Daerah
Perseorangan memang cukup membuat merinding bulu kuduk. Akan tetapi, dalam
penglihatan penulis sesungguhnya ketentuan kuorum ini memberikan dampak positif
kepada calon Kepala Daerah Perseorangan. Dukungan politik rakyat yang sendari
awal telah diperoleh dengan dukungan KTP, sesungguhnya dapat menjadi modal
politik awal yang baik. Representasi dukungan awal rakyat, dapat menjadi basis
yang memberi efek terhadap daya pilih masyarakat lain, karena biasanya
konsolidasi politik akan terbangun sendiri dan dijalankan tanpa sadar oleh
masyarakat yang memberikan dukungan sedari awal.
Akrab Dengan Konstituen
Seorang
calon Kepala Daerah yang menggunakan jalur Perseorangan selain mendapatkan
keuntungan diatas, juga cenderung lebih akrab dengan rakyat yang merupakan
konstituennya. Itu karena, komunikasi politik secara persuasif telah dibangun
jauh sebelum calon tersebut mendeklarasikan diri untuk ikut berpartisipasi
dalam pesta demokrasi yang dilaksanakan. Komunikasi itu, akan terus berlangsung
sampai pada pengumpulan dukungan yang ditandai dengan KTP, konsolidasi
penggalangan masa, hingga pada penentuan program pembangunan Kepala Daerah
Perseorangan tersebut.
Kedekatan
Kepala Daerah Perseorangan dengan konstituennya cenderung lebih dekat bila
dibandingkan dengan Kepala Daerah yang dicalonkan melalui parpol. Dengan
kedekatan ini, seorang Kepala Daerah akan lebih peka menyikapi persoalan yang
sedang melilit rakyatnya. Kepekaan sosial itu, membuat Kepala Daerah
Perseorangan akan lebih berpeluang memilih untuk menentukan kebijakan yang pro
rakyat sekalipun kebijakan tersebut tidak popular.
Bebas Interfensi Parpol
Komunikasi
politik yang dibangun sejak awal dengan tidak melibatkan parpol, menjamin
kinerja Kepala Daerah Perseorangan bebas dari interfensi politik yang
diwujudkan dengan kebijakan pro-rakyat meskipun tidak popular. Sedikit berbeda
dengan Kepala Daerah yang mencalonkan diri dengan dukungan parpol, Kepala
Daerah tersebut akan disandera dan dipaksa untuk mengakomodir kepentingan parpol
pendukung. Mengakomodir kepentingan paprol pendukung adalah sesuatu yang tidak
dapat dihindari. Ini di sebabkan karena sejak awal calon Kepala Daerah telah
membangun komunikasi politik balas budi untuk mendapat dukungan dari parpol.
Dengan
begitu, segala kebijakan Kepala Daerah lebih mempertimbangkan bagaimana
mengakomodir kepentingan parpol pendukung dari pada mengutamakan kebutuhan
masyarakat atau setidaknya konstituennya. Konsekuensinya adalah, jalannya
pembangunan disuatu daerah hanya akan menjadi modus operandi pembagian kue-kue
pembangunan antara penguasa, pengusaha dan parpol dengan tidak menempatkan
porsi untuk kebutuhan rakyat. Keadaan demikian, dapat dihindari oleh Kepala
Daerah Perseorangan karena tidak ada komunikasi politik yang dibangun dengan
parpol.
Independensi Lebih Terjaga
Keberadaan
Kepala Daerah Perseorangan yang bebas dari interpensi papol, lebih menjamin
independensi Kepala Daerah dapat terjaga. Sulitnya seorang Kepala Daerah selama
ini menempatkan diri dalam posisi “tengah” adalah karena keberadaan Kepala
Daerah yang disandera oleh parpol. Tersandaeranya Kepala Daerah oleh manuver
politik kepentingan parpol dapat diminimalisir oleh kepala derah Perseorangan.
Dengan begitu, asas-asas penyelenggaraan pemerintahan dapat diwujudkan dalam
praktek pemerintahan.
Profesional Dalam Bekerja
Dengan
batasan dan control kewenangan seorang Kepala Daerah, ditambah minimnya manuver
politk kepentingan parpol. Kepala Daerah Perseorangan dapat bekerja secara
professional tanpa harus dibebankan dengan kepentingan sepihak parpol, ataupun
kepentingan lain yang dapat mereduksi profesionalitas kinerja seorang Kepala
Daerah. Jika iklim pemerintahan mendesak seorang Kepala Daerah untuk
menjalankan tugas dan kewenangannya secara professional, maka keseimbangan
jalannya pemerintahan dapat terjamin dan keadilan dapat terwujud.
Mesin Politik Prematur
Tidak
adil jika penulis hanya mengkaji kelebihan Kepala Daerah Perseorangan karena
merupakan sesuatu yang mustahil jika tidak memiliki kekurangan. Salah satu
kekurangan calon Kepala Daerah melalui cara Perseorangan adalah minimnya mesin
politik.
Baik
dalam kanca politik nasional hingga politik local di Indonesia, kekuatan
politik yang paling efektif adalah parpol dan birokrasi. Calon Kepala Daerah
Perseorangan tidak memiliki basis parpol, sedangkan birokrasi tergantung pada
latar belakang calon tersebut. Sekilas memperhatikan kondisi demikian, secara
serpihak dapat disimpulkan calon Kepala Daerah Perseorangan memiliki mesin
politik yang premature. Dengan mesin politik yang terbatas, calon Perseorangan
dituntut bekerja ekstra dalam perhelatan demokrasi.
Minim Dukungan Parlemen
Jika
rumusan sistem presidensial efektif adalah PE = KK + DP + K yang dapat
diartikan PE – presidensial efektif; KK – kewenangan konstitusional; DP –
dukungan politik; K – control (Denny Indrayana, 2011). Maka, rumusan itu dapat
digunakan untuk mengukur jalannya pemerintahan daerah yang efektif mengingat
hak otonomi pemerintah daerah berdiri diatas sistem pemerintahan presidensil.
Control
atas kekuasaan adalah keharusan sebagaimana aksioma politik Lord Acton “power tends to corrupt absolute power tends
to corrupt absolutely”. Kepala Daerah Perseorangan akan kesulitan
mendapatkan dukungan politik di parlemen mengingat komunikasi antara Kepala Daerah
Perseorangan dengan parpol yang sangat terbatas. Padahal, parlemen dikuasai
oleh parpol. Misalnya, dalam pembahasan mengenai Perda tentang APBD.
Kemungkinan Kepala Daerah yang berkepentingan memenuhi kebutuhan masayarakat
berbeda kepentingan dengan parpol yang cenderung memikirkan keuntungan terbuka
lebar. Dengan begitu, pembahasan Perda APBD akan berujung pada mekanisme dead lock.
Pertimbangan Untuk Kepala Daerah Perseorangan
Kedua
kekurangan Kepala Daerah Perseorangan, baik mesin politik premature ataupun
minim dukungan parlemen. Dalam kajian penulis dapat diatasi jika Kepala Daerah
Perseorangan mempertimbangkan beberapa hal berikut.
Pertama;
calon Kepala Daerah Perseorangan jika dapat memaksimalkan komunikasi persuasive
secara professional dan objektif dengan konstituen awal, maka kominikasi
politik akan terbangun dengan sendirinya dari mereka yang menjadi konstituen
awal. Keadaan itu berpeluang menjadi kekuatan politik yang cukup besar yang
membuat kekuatan parpol dan birokrasi dapat diimbangi.
Kedua;
dukungan parlemen memang penting untuk memuluskan program pembangunan Kepala
Daerah. Namun, mengingat legitimasi antara Kepala Daerah Perseorangan dan
anggota parlemen yang sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. Membuat Kepala
Daerah tidak perlu takut dengan gangguan politik yang sengaja dikondisikan oleh
parpol. Jika ternyata kebijakan Kepala Daerah Perseorangan yang jelas
keberpihakannya kepada rakyat yang tidak sejalan dengan parpol di parlemen,
biarkan saja rakyat yang memberi sanksi atas perilaku parpol di parlemen yang
tidak pro rakyat dengan tidak lagi memberikan dukungan pada periode berikut.
Ketiga;
andai Kepala Daerah Perseorangan tetap membangun komunikasi dengan parpol di
parlemen untuk meloloskan program pembangunannya, maka Kepala Daerah Perseorangan
hendaknya membatasi komunikasi dengan mempertimbangkan objektifitas dan
menggalang dukungan parpol parlement yang pas terbatas sehingga tidak terjebak
pada kepentingan politk sesaat parpol.
Keempat;
kekuatan pressure extra parlement
harus dibuka lebar dan semakin mendapat legitimasi yang kuat untuk dapat
melakukan control atas kerja parpol di parlement. Wallahualam ..