M. Ghufran H. Kordi K (doc. Pribadi) |
Oleh M. GHUFRAN H. KORDI K.
Pengamat Sosial
Disabilitas (disability, disabilities), berarti tidak mampu atau ketidakmampuan adalah istilah yang digunakan untuk menyebut orang-orang yang mempunyai kondisi dan kemampuan yang berbeda, baik dibawa sejak lahir atau karena kecelakaan dan sebagainya. Konvensi Hak-Hak Orang Dengan Disabilitas (Convention on The Rights of Persons With Disabilities atau CRPD 2006) mendefinisikan Disabilitas adalah mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama di mana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya (Pasal 1).
Istilah ‘Disabilitas’ tidak ramah, bahkan diskriminatif terhadap mereka yang disebut Disabilitas. Namun, istilah tersebut telah digunakan dalam instrumen hukum internasional dan diadopsi di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi CRPD pada tahun 2011, dan mengadopsi Konvensi tersebut ke dalam Undang-Undang Penyandang Disabilitas (UU No. 8/2016).
Sekalipun disebut sebagai disabilitas atau tidak mampu, mereka yang disebut Disabilitas dan mereka yang membela hak-hak disabilitas, dengan berat hati ‘menerima’ istilah diskriminatif tersebut. Ini lebih baik dibandingkan dengan istilah lain yang sangat tidak manusiawi, seperti cacat, penyandang cacat, invalid, dan tidak normal.
Aktivis dan pembela hak-hak disabilitas di Indonesia, diawali dan motori aktivis di Yogyakarta, menawarkan istilah Difabel atau Difabilitas. Difabel adalah singkatan dari Bahasa Inggris differently abled people yang berarti orang yang memiliki kemampuan berbeda. Istilah difabel dipopulerkan oleh Mansour Fakih dan Setya Adi Purwanto (seorang difabel netra). Gagasan penggunaan difabel atau difabilitas merupakan perubahan konstruksi sosial dalam memahami difabilitas, atau yang saat itu dikenal sebagai kecacatan (penyandang cacat) (Yulianto, 2016). Namun, istilah Difabel tidak cukup kuat dalam pertarungan dengan mereka yang menganut istilah Disabilitas.
Bahasa yang ‘Memusnahkan’
Istilah disabilitas, penyandang disabilitas, cacat, penyandang cacat, invalid, dan tidak normal, bukanlah istilah yang muncul begitu saja. Istilah-istilah tersebut dilahirkan dan dimasyarakatkan oleh struktur sosial, pengetahuan, dan kekuasaan yang menempatkan Disabilitas sebagai kelompok ‘tidak normal’ sehingga perlu dikasihani dan disantuni, sebagai ladang beramal dan mengantar ‘orang normal’ ke surga.
Bahasa, pengetahuan, kepercayaan, dan struktur sosial yang diskriminatif melahirkan berbagai praktik kehidupan yang menempatkan Disabilitas tidak hanya sebagai orang yang termarjinal dan dimiskinkan, tetapi juga sebagai orang-orang yang dimusnahkan. Pemasungan yang dilakukan terhadap orang yang mengalami masalah psikososial dapat terjadi, karena penyebutan mereka sebagai ‘orang gila’ atau ‘orang tidak normal’. Padahal masalah psikososial pada orang yang biasa disebut ODDP (orang dengan disabilitas psikososial) atau ODGJ (orang dengan gangguan jiwa), dapat dialami oleh siapa saja yang mengalami tekanan atau stress berlebihan.
Anak-anak lahir dengan disabilitas tertentu yang cukup serius, yang menyebabkannya tidak bisa berkembang seperti anak-anak lainnya, yang seharusnya perlu penanganan, justru disembunyikan oleh orang tuanya berpuluh-puluh tahun, karena dianggap sebagai anak-anak yang tidak normal dan pembawa sial.
Bahasa dan kepercayaan yang diskriminatif tersebut pun memengaruhi interaksi sosial, yang juga dipakai pengambil kebijakan dalam membuat kebijakan segregatif, sehingga menempatkan Disabilitas sebagai kelompok terpisah. Dalam dunia pendidikan di Indonesia melahirkan SLB (sekolah luar biasa), sedangkan berbagai layanan publik tidak responsif dan tidak ramah Disabilitas.
Membahasakan atau menyebut Disabilitas sebagai cacat, invalid, dan tidak normal, disadari atau tidak, telah menempatkan Disabilitas sebagai orang-orang yang tidak mempunyai hak dan tidak terlindungi. Bahasa yang digunakan sebagai awal dalam ‘pemusnahan’ Disabilitas.
Disabilisida, Pembunuhan Disabilitas
Disabilitas adalah salah satu kelompok yang mengalami diskriminasi, kekerasan, dan pembunuhan di berbagai ranah kehidupan, termasuk dalam kehidupan bernegara. Artinya, kejahatan dan pembunuhan terhadap manusia tidak hanya terjadi karena kebencian terhadap ras, etnis, penganut agama dan kepercayaan tertentu, biasanya kelompok minoritas. Akan tetapi, kejahatan dan pembunuhan dengan maksud untuk memusnahkan juga terjadi pada kelompok masyarakat yang dibenci karena berbagai perbedaan dan bukan selalu minoritas, seperti perbedaan jenis kelamin, gender, anak, dan disabilitas.
Kejahatan dan pembunuhan pada disabilitas dapat kita sebut sebagai Disabilisida (Disabilicide), meminjam istilah genosida (genocide). Disabilisida adalah kejahatan terhadap disabilitas yang dilakukan oleh individu, kelompok, dan pemerintah/negara, baik langsung maupun tidak langsung. Disabilitas mengalami kekerasan hingga pembunuhan karena mereka adalah Disabilitas. Namun, Disabilitas juga mengalami kejahatan dan pembunuhan karena status lain yang disandang, misalnya perempuan Disabilitas, anak Disabilitas, dan anak perempuan Disabilitas. Perempuan Disabilitas yang mengalami pembunuhan, berarti dia mengalami pembunuhan karena dua status tersebut, sebagai perempuan dia mengalami Femisida (Femicide)—dibunuh karena dia seorang perempuan—sebagai disabilitas dia mengalami Disabilisida. Demikian juga anak Disabilitas. Dia dibunuh sebagai Childsida (Childcide)—dibunuh karena dia adalah anak-anak—dan sebagai Disabilisida.
Mungkin Sebagian orang menganggap istilah Disabilisida sebagai berlebihan atau lelucon. Tetapi, siapa saja harus sadar bahwa, selama ini Disabilitas mengalami diskriminasi, kekerasan, hingga pembunuhan karena mereka adalah Disabilitas. Jika mereka tidak menyandang status sebagai Disabilitas, kondisi mereka akan berbeda, karena lingkungan sosial akan ‘menerima’ mereka tanpa cap dan stigma.
Kejahatan dan pembunuhan terhadap Disabilitas dimulai dari rumah, yang pelakunya adalah orang tua dan keluarga sendiri, dengan mengurung, memasung, hingga membiarkan mereka mati. Kejahatan dan pembunuhan Disabilitas juga dilakukan oleh masyarakat atau lingkungan sosial di mana Disabilitas hidup dan berinteraksi. Selain diskriminasi dan kekerasan langsung, Disabilitas juga mengalami kekerasan tidak langsung, seperti ketiadaan fasilitas dan sarana yang memungkinkan Disabilitas dapat berinteraksi dengan lingkungan sosial.
Pemerintah atau negara adalah pihak yang mempunyai kuasa untuk memenuhi hak dan melindungi Disabilitas dari praktik kehidupan yang diskriminatif. Namun, pemerintah tidak hanya melakukan pengabaian, tetapi juga melakukan kekerasan terhadap Disabilitas, artinya negara melakukan Disabilisda. Pemerintah membuat kebijakan yang menggunakan istilah dan bahasa yang memarjinalisasi dan membahayakan Disabilitas. Instrumen hukum yang dibuat pemerintah tidak banyak mengubah perspektif dan kehidupan sosial yang diskriminatif terhadap Disabilitas.
Sementara di sisi lain, pejabat pemerintah atau aparatus negara sering menggunakan bahasa yang menyalahkan dan memojokkan Disabilitas, seakan-akan orang menjadi Disabilitas karena kesalahan atau karmanya. Padahal Disabilitas mengalami hambatan bukan karena dia menjadi Disabilitas, tetapi perspektif dan kehidupan sosial yang tidak ramah dan tidak mengakomodasi kebutuhan Disabilitas. Manusia menjadi lupa bahwa, semua orang akan menjadi Disabilitas, baik karena akan lanjut usia (lansia), penyakit, kecelakaan, dan sebagainya.[]