Doc (Pribadi) |
Oleh: Faisal Yamin
"Kenapa ya ASN dilarang terlibat politik praktis?"
Mungkin begitu pertanyaan salah seorang guru disalah satu sekolah negeri yang dilontarkan saat saya melakukan kegiatan pengawasan dan penyampaian himbauan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) pada pemilu 2024 di sekolahnya.
Saya menangkap pertanyaan itu dengan antusias. Rupanya dalam penjabaran saya, ada keresahan tersendiri yang mengendap dalam dirinya. Bagi saya, sikap kritis yang ditunjukan itu baik sekali. Dia mampu menangkap seluruh informasi yang masuk lalu dia berkontemplasi dengan itu.
Apa yang dia tanyakan adalah bentuk dari langka pencegahan dini. Paling tidak lewat pertanyaan itu dia bisa tahu secara jelas alasaan larangan-larangan itu dibuat agar sedini mungkin menghindari hal-hal yang membuat dia terjerat sangsi etik yang terbayang-bayang dikepala setiap ASN.
***
Harus diakui, memasuki bulan politik, Aparatur Sipil Negara harus berhati-hati dalam menjalani aktivitas. Bukan tanpa alasan, ada aturan dan larangan sesuai Keputusan Bersama lima kementerian/lembaga yang ditandatangani tanggal 22 September 2022 yang wajib mereka laksanakan.
Para ASN tidak hanya dituntut merawat profesional mereka dalam bekerja, namun juga menjaga netralitas dan tidak ikut terlibat politik praktis pada momentun pemilu 2024. Hal tersebut hingga ASN ibarat mikroba yang dicermati mengunakan mikroskop.
Bukan terlalu melebih-lebihkan, tapi ini soal tanggung jawab. Sebab kendati aturan yang telah disampaikan dengan nada penuh tekanan, nyatanya masih ada saja oknum ASN bebal yang lolos dari pencermatan. Ini terlihat dari data pada momentum demokrasi sebelumnya-sebelumnya.
Dikutip dari https://malut.bawaslu.go.id bahwa data Bawaslu Maluku Utara kasus yang terjadi selama pelaksanaan Pilkada 2020 di delapan kabupaten kota terdiri dari 406 kasus yang meliputi temuan sebanyak 307 kasus dan laporan sebanyak 99 kasus.
Dan dari seluruh kasus yang ditangani selama pelaksanaan Pilkada 2020 lalu, didominasi kasus pelanggaran netralitas ASN dengan jumlah 176 kasus dari 406 kasus yang ditangani.
Jadi setiap pelaksanaan momentum pesta demokrasi, masih ada saja ASN yang terjaring rajia ikut menyatakan dukungan dan terlibat langsung dengan politik praktis. Berapa kasus tersebut pernah diselesaikan sampai direkomendasi komisi etik ASN.
Ini seperti yang dilakukan oleh Bawaslu halsel pada 2020, merekomendasikan 10 (sepuluh) nama Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam lingkup Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Selatan ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) karena kasus dugaan pelanggaran kode etik.
Bagaimana dengan Indeks Kerawanan Isu Netralitas ASN di Maluku Utara?
Bawaslu RI mengeluarkan indeks kerawanan tertinggi isu netralitas ASN, Maluku Utara menjadi yang tertinggi dengan tingkat kerawanan 18,85. Menyusul setelahnya Sulawesi Utara (16,60), Sulawesi Selatan (13,86), Sulawesi Barat (13,46), Sulawesi Tenggara (12,56), Sulawesi Tengah (10,02), Nusa Tenggara Barat (7,98), Papua Selatan (6,73), Banten (6,43), dan Kalimantan Utara (5,96).
Sementara data untuk per kabupaten kota, Halmahera Selatan tercatat menduduki urutan ke 8 dengan angka 40,38 bersanding dengan Kab. Mamuju dan Bulu Kumba. Dari data di atas, saya kira ini jadi catatan tersendiri buat penyelenggara, simpatisan politik, dan tentunya para ASN yang bertugas di jajaran Provinsi Maluku Utara.
Lalu apa yang Menyebabkan Indeks Kerawanan Isu Netralitas ASN di Maluku Utara Begitu Tinggi?
Menurut saya, salah satu faktor yang menyebabkan indeks kerawanan isu netralitas ASN adalah karena para ASN belum sepenuhnya sadar. Mereka masih terkesan acu dengan himbauan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait. Kendati sudah dibaca dan tahu apa konsekuensinya, namun itu hanyalah angin sepintas lalu.
Di sisi lain ada faktor yang tidak kala penting turut menyumbangkan isu Netralitas ASN tersebut. Sebut saja keterlibataan ASN dijajaran tingkat atas dalam politik praktis sehingga merembes pada jajaran tingkat bawa.
Hal ini bisa dilihat secara terang bahwa ketika momentum pesta demokrasi, banyak fatwa atau ajakan yang dikuarkan oleh jajaran tingkat atas kepada ASN jajaran bawah. Salah satu yang paling sering kita dengar adalah,
"Pilih dia, jika tidak nasibmu bakal apes. Kamu akan dimutasi ke tempat lain."
Bahasa kiasan yang muncul saat menjelang momentum pemilu dari pejabat tingkat atas membuat ciut nyali di jajaran ASN kalangan bawa. Sehingga mau tidak mau aturan pun harus ditabrak, instruksi harus dilaksanakan.
Terakhir kita tahu, bahwa Bawaslu RI dan jajaran di tingkat bawah adalah motor utama dari pengawasan pemilu. Namun harus diingat bahwa Negara Indonesia adalah negara maritim. Sebaran pulaunya sangat banyak, jika pengawasan sepenuhnya dilakukan oleh pengawas pemilu tentu masih ada celah para ASN melakukan pelanggaran.
Ini karena antara luas wilayah dan jumlah pengawas tidak sebanding. Maka kurangnya keterlibatan masyarakat dalam mengawal jalannya momentum demokrasi kita juga bagian dari faktor pemicu. Jadi penting kiranya keterlibatan seluruh masyarakat untuk ikut mengawal.
Apa yang harus dilakukan agar menggugah kesadaran ASN agar tidak terjaring rajia etik?
Saya kira jawabanya sudah jelas. Bahwa kesadaran untuk menjalani aturan adalah wajib. Karena sudah ada surat himbauan sesuai Keputusan Bersama lima kementerian/lembaga yang ditandatangani tanggal 22 September 2022.
Di samping itu harus pertegas sanksi terhadap mereka yang masih keras kepala. Pemberian sangsi pun tidak tangguh-tangguh dan pandang bulu. Baik pejabat atau kepala daerah yang melanggar harus dihukum seadil-adilnya. Biar ada efek jerah bagi yang lainnya kedepan.
Selain itu kita juga harus memperluas lagi akses informasi dan sosialisasi baik itu lewat media daring atau lewat safari tentang larangan yang dikeluarkan. Intinya kita harus bekerja sama. Semua pihak harus terlibat untuk meneruskan himbauan sampai ke pelosok negeri, biar mereka yang tidak mampu mengakses secara daring juga mengetahuinya dengan baik.
Berikut larangan ASN dalam Surat Keputusan Bersama.
Berdasarkan Surat Keputusan Besar (SKB) Nomor 2 tahun 2022 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan
ASN dilarang memasang spanduk/baliho/alat peraga bakal calon peserta pemilu Sosialisasi/kampanye media menghadiri deklarasi/kampanye bakal calon peserta pemilu membuat posting, comment, share, like, follow dalam grup/akun pemenangan bakal calon peserta pemilu memposting pada media sosial/media lain yang bisa diakses publik ikut dalam kegiatan kampanye/sosialisasi bakal calon peserta pemilu.
Lantas kenapa ASN tidak bisa terlibat polotik praktis?
Larangan tersebut dimuat dalam Surat Keputusan Besar (SKB) Nomor 2 tahun 2022 tengang Netralitas ASN. Namun jauh sebelumnya larangan tersebut telah di muat dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Dalam pasal 2 menyatakan setiap pegawai ASN harus patuh pada asas netralitas dengan tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan tertentu.
Kemudian, dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juga terdapat pasal soal netralitas ASN. Lalu, dalam UU Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah teradapat dua pasal yang mengatur tentang netralitas ASN yaitu pada Pasal 70 dan Pasal 71.
Pasal 70 ayat (1) berbunyi dalam kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan Aparatur Sipil Negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan anggota Tentara Nasional Indonesia. Pelanggaran atas ketentuan tersebut dikenakan sanksi pidana paling lama 6 (enam) bulan penjara dan denda paling banyak 6 juta sebagaimana disebutkan dalam Pasal 189.
Kemudian, Pasal 71 ayat (1) berbunyi pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa Kampanye.
Pelanggaran atas ketentuan tersebut dikenakan sanksi pidana paling lama 6 (enam) bulan penjara dan denda paling banyak 6 juta sebagaimana disebutkan dalam Pasal 188.
Sampai disini mungkin jelas sudah. Bahwa ASN memang dilarang keras ikut terlibat politik praktis. Dan untuk menekan indeks kerawanan isu netralitas ASN, semua pihak harus terlibat langsung dalam mengawal setiap tahapan yang berlangsung. Lebih lagi bersama membangun kesadaran. Sebab hanya itu yang dapat dilakukan menghadapi pemilu 2024 yang jurdil.
“Tujuannya pada akhirnya bukan untuk memenangkan pemilu. Tujuannya adalah untuk mengubah masyarakat.” —Paul Krugman***