Rusdin Tompo Menyerahkan Buku Karyanya Ke Syahrul Yasin Limpo |
Oleh: Rusdin Tompo
(Penulis, Editor, dan Koordinator SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan)
"Kita sudah baca kan, bukunya?" Tanya Asdar Muis RMS, begitu melihat saya membuka-buka buku seukuran 10,5x16 cm yang belum lama diberikannya.
"Iye, baru sempat baca pengantar penyunting dan satu-dua tulisan," kataku pada pria yang ada di depanku ini.
"Sebentar kita juga jadi pembicara na," balasnya dalam logat Makassar.
Apa yang disampaikannya itu, saya tahu hanya spontan saja. Karena dalam undangan yang saya terima, sudah jelas tertera nama-nama pembahas bukunya.
Ada Aswar Hasan, pengamat komunikasi politik--juga mantan Ketua KPID Sulawesi Selatan dua periode--yang saat itu merupakan Ketua Komisi Informasi Sulawesi Selatan. Ada pula nama Muhammad Darwis, Sosiolog Universitas Hasanuddin, juga pernah jadi komisioner KPU Sulawesi Selatan. Nama lain yang jadi pembicara, yakni Andi Unggul Attas, saat itu Presiden Direktur PT Semen Tonasa. Tentu saja, Asdar Muis RMS, berada dalam dereten pembicara hari itu.
Asdar Muis RMS merupakan editor buku-buku SYL. Pemain teater dan sastrawan yang punya acara "Kolom Udara Asdar Muis RMS" di Radio SCFM itu, orang yang saya kagumi. Dialah yang pertama kali menyebut saya penyair, saat saya menghadiri perayaan ulang tahun pernikahannya, di rumahnya yang pernah diliput Harian Kompas.
***
Kejadian didadak sebagai pembahas buku "SYL II: Genius Culture Syahrul Yasin Limpo," sepuluh tahun silam itu, saya ingat betul. Kamis, 31 Oktober 2013, hari itu, saya sebenarnya meninggalkan kantor KPID Sulawesi Selatan di Jalan Botolempangan No 48, dengan santai. Maklum, saya hanya akan hadir sebagai salah seorang tamu undangan. Jadi ya, cukup datang, duduk, dan menyimak bahasan para pembicara hehehe. Itu di pikiran saya.
Walau hari itu hujan membasahi Kota Makassar, saya sudah bulatkan niat menghadiri peluncuran dan diskusi buku Syahrul Yasin Limpo, yang diadakan di Makassar Golden Hotel, Jalan Pasar Ikan Nomor 52--yang berada di kawasan ikonik Pantai Losari. Ini buku SYL Way kedua, terbit Oktober 2013. Sebelumnya, ada "SYL Way: Kearifan Lokal Syahrul Yasin Limpo" (terbit November 2012).
SYL merupakan singkatan dari nama Gubernur Sulawesi Selatan, dua periode itu (2008-2013 dan 2013-2018). Sebutan ini belakangan akrab di telinga masyarakat Sulawesi Selatan, terutama setelah SYL berpasangan dengan AAN (Agus Arifin Nu'mang, pada gelaran Pemilukada Sulawesi Selatan, tahun 2007 dan 2013. Kala itu, keduanya juga punya sebutan lain: Pak Kumis dan Si Kacamata.
Begitu saya menerima tawaran mendadak tersebut, tentu saja saya dituntut bisa membaca cepat buku SYL Way II itu. Saya lalu membuat poin-poin yang akan disampaikan, sebagai catatan kritis saya. Dan terutama mencari kalimat pembuka, bila tiba giliran saya berbicara.
Saya ingat persis, kutipan kalimat yang saya kemukakan saat itu. Kalimat yang saya nukilkan dari ungkapan Toni Morrison bahwa jika ada sebuah buku yang ingin Anda baca, tetapi buku tersebut belum ada yang menulisnya, maka Andalah yang harus menulis buku itu. Kutipan kalimat dari penerima Nobel Kesusastraan, tahun 1993 ini, mengalirkan bahasan saya setelahnya. Saya juga mengomentari tampilan visual buku, berupa cover, desain dan tata letak.
Harus diakui, tidak banyak pemimpin yang gemar menulis dan menerbitkan buku. SYL termasuk yang berada dalam deretan pemimpin yang langka itu. Untuk buku SYL Way saja, ada beberapa seri. Belum lagi buku-buku dengan tema lain, seputar pemerintahan, politik, demokrasi, kepemimpinan, dan sebagainya. Sekadar menyebut dua judul di antaranya adalah "Jangan Marah di Muara" (2005) dan "Berhentilah Mengaduk Samudra" (2006).
Saking banyaknya buku-buku yang ditulis dan tentang SYL, tidak heran bila ada SYL Corner di Perpustakaan Provinsi Jalan Sultan Alauddin No 7, Tala'salapang, Makassar. Itulah mengapa, saat itu saya menyarankan agar SYL Centre mengkaji visi dan gagasan-gagasan Syahrul Yasin Limpo. Apalagi sebagai seorang pamong praja, pemikiran SYL itu akan sangat berguna bagi ilmu pengetahuan dan dalam praktik birokrasi pemerintahan kita.
Momen ikut diajak membahas buku orang nomor satu di Sulawesi Selatan, ketika itu, semakin tidak terlupakan lantaran ada amplopnya hehehe. Lumayan pula. Begitulah rezeki... Maksud hati hanya datang sebagai penghormatan atas undangan yang diberikan, rupanya malah diajak ikut nimbrung sebagai pembahas buku.
***
Saya terpikir menulis momen-momen bersentuhan dengan SYL terkait buku, setelah melihat beberapa foto di laptop saya. Dalam foto-foto itu, saya menyerahkan buku kepada SYL di berbagai kesempatan, sembari menjelaskan buku yang saya berikan tersebut. SYL selalu terlihat antusias menerima buku dan mendengar penjelasan singkat saya. Setelah itu, tentu saja, cipika-cipiki. Sesuatu yang terasa istimewa bagi saya.
Momen saya menyerahkan buku kepada Bupati Gowa dua periode (1994-2002) itu, pertama terjadi pada tanggal 22 September 2016 di ruang kerjanya di Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan, Jalan Jenderal Urip Sumoharjo. Saat itu, saya ikut dalam rombongan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Provinsi Sulawesi Selatan yang mengajak beberapa tokoh literasi melakukan audiensi dengan gubernur. Hadir antara lain, Kepala DPK Provinsi Sulawesi Selatan, Drs H Abd. Rahman, MM, pustakawan Syahruddin Umar, aktor dan mantan birokrat, Dr Ir H Syahriar Tato, serta penulis buku, Bachtiar Adnan Kusuma.
Buku-buku yang saya serahkan, saat itu, antara lain "Mozaik Penyiaran", kumpulan tulisan saya yang mengulas ragam tema, mulai dari jurnalisme hingga nasionalisme media penyiaran. Juga tema dinamika penyiaran lokal dan penyiaran pro publik. Buku lainnya, yakni "7342 Mengawal 115 Pulau", yang mendokumentasikan kinerja Kapolres Pangkep, AKBP Mohammad Hidayat. Buku ini saya susun bersama Maysir Yulanwar, yang juga mengerjakan desain dan tata letaknya.
Momen penyerahan buku berikutnya terjadi pada tanggal 25 Februari 2017 di Rumah Jabatan Gubernur Sulawesi Selatan, Jalan Sungai Tangka No 31, Kota Makassar. Saat itu, pengurus Lembaga Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Sulawesi Selatan (LAPAKKSS) belum lama terbentuk. Lembaga yang dipimpin Dr H Ajiep Padindang, sebagai Ketua Umum, dan Yudhistira Sukatanya, sebagai Ketua Harian, saat itu tengah mengadakan audiensi untuk menyampaikan visi lembaga dan rencana-rencana program strategisnya.
Ada dua buku kumpulan puisi, yang saya serahkan usai pertemuan, yakni "Tuhan Tak Sedang Iseng" dan "Mantra Cinta". Begitu buku saya berikan, saya ceritakan secara ringkas latar kehadiran buku itu dan tema yang diusung masing-masing buku. Saya sampaikan juga bahwa gambar sampul kedua buku itu merupakan vignette karya saya.
Momen lainnya, terjadi saat saya diundang Upi Asmaradhana menghadiri perayaan HUT ke-8 KabarMakassar.com di pelataran Mal Ratu Indah (MaRI) Makassar, tanggal 29 Agustus 2017. Saat itu, saya tak cuma hadir, tapi juga membacakan puisi berjudul Kabar Makassar, sebagai kado ulang tahun bagi portal website tersebut.
Saya yakin ini buku istimewa bagi beliau. Betapa tidak. Buku berjudul "Iwan Tompo, Maestro Lagu Makassar," itu merupakan kisah hidup sahabatnya, Iwan Tompo. Buku ini saya tulis bersama Wandi Daeng Kulle, penyiar radio Gamasi FM, yang juga karib Iwan Tompo.
Penyanyi lagu-lagu Makassar itu, punya hubungan baik dengan SYL. Dia menciptakan lagu "Kelong Pangngu'rangi", khusus untuk SYL, yang kini menjabat sebagai Menteri Pertanian RI, dalam Kabinet Indonesia Maju. Atas bantuan SYL, Iwan Tompo, ketika sakit, dipindahkan dari Rumah Sakit Bhayangkara, Makassar, ke Rumah Sakit Khusus Daerah Dadi Provinsi Sulawesi Selatan. Saya sempat membesuk Iwan Tompo yang tengah menjalani perawatan, sebelum pelantun lagu Ati Raja itu berpulang.
***
Buku-bukulah yang mengantar saya bisa bertemu Syahrul Yasin Limpo. Saya memang menggunakan buku sebagai medium diplomasi dan cara saya mengkomunikasikan diri saya. Sementara, saya mengingat SYL lewat buku-buku yang ditulisnya, yang tesimpan rapi di rak-rak buku saya--mungkin juga dalam memori kolektif masyarakat Sulawesi Selatan. (*)
Gowa, 3 Oktober 2023