Muhammad Asmar Joma |
Oleh: Muhammad Asmar Joma
(Mantan Direktur Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam HMI Cabang Ternate)
Sejarah panjang peradaban umat manusia telah memberikan kontribusi terhadap dunia dari aspek pendidikan, politik, ekonomi, kebudayaan, juga pembagunan, yang mencapai seluruh dimenasi kehidupan sampai saat ini.
Menurut Tarigan dalam jurnal “Sejarah Peradaban Islam Dan Metode Sejarah.” (2023:1658), Kemajuan ilmu dan teknologi sudah berkembang dengan pesat seiring dengan perkembangan peradaban. Umat Islam, merupakan umat yang berpengaruh besar dalam membangun peradaban dalam bidang pengetahuan dan teknologi. Karena kenyataannya, banyak negara dan tokoh-tokoh yang mayoritasnya umat Islam, telah menyumbangkan ilmu pengetahuan untuk mempermudah manusia dalam menjalani dan memenuhi kebutuhan hidup.
Pada titik inilah, sejarah panjang setiap bangsa merupakan kekuataan identitas yang perlu direkonstruksi oleh generasi dalam kehidupan berbagsa-bernegara. Tentu, untuk menjadi wacana baru bagi masa depan bangsa. Hal demekian yang tidak terbaca oleh kita, justru perdebatan kita akhir-akhir ini bermuara politis. Sah-sah saja, kita membangun asumsi politik untuk memahami dinamika sosio-politik daerah, tetapi jangan menjadikan kebudayaaan kelompok tertentu menjadi alat politik yang dimanfatkan sebagai instrumen kelompok.
Hal demikian mejerumuskan kita menuju pada faktar bahwa negeri yang kita tempati memiliki jejak masa lalu yang panjang, perlu ada metodologi pengetahuan untuk memahami, mendalami, dan membaca sejarah bangsa, bukan sekedar menghafal nama-nama tokoh dan bernostalgia dengan kejayaan yang diciptakan oleh para pejuang. Melainkan tugas kita merumuskan nilai sejarah bangsa, yang di dalamnya terdapat kekuataan kebudayaan sebagai identitas primordial yang harus dijaga dan pahami, bukan dipolitisasi atas dasar kepentingan kelompok.
Harus jujur kita ungkapkan, jazirah Al-mulk memiliki kekayaan sumber daya alam yang besar dan melimpah dari sektor laut, darat. Belum lagi ragam bahasa dan tradisi, yang memiliki eksistensi dalam kehidupan masyarakat yang berbeda-beda. Aneh tapi nyata, fakta menunjukkan sikap kita dalam memahami sejarah bangsa sebagai identitas kultural seakan sebuah drama yang habis dimakan waktu. Kesadaran kritis tidak terbangun dalam menelusuri jejak sejarah bangsa, pada akhirnya memunculkan subjektifitas dalam memberikan argumentasi sejarah.
Munir Salim, dalam jurnal “Bhineka Tunggal Ika Sebagai Perwujudan Ikatan Adat-Adat Masyarakat Adat Nusantara.” (2017:70), Yang dikatakan sebagai ikatan primordial adalah ikatan yang muncul dari perasaan yang lahir dari apa yang ada dalam kehidupan sosial, yang sebagian besar berasal dari hubungan kelurga, ikatan kesukuan tertentu, dan keanggotaan dalam keagamaan tertentu, yang membawa ikatan yang sangat kuat dalam kehidupan masyarakat.
Maluku Utara adalah salah satu wilayah paling timur yang dijajaki oleh imperium-imperium besar eropa. Pada posisi ini, seharusnya kita kembali membaca dan melacak sejarah bangsa kita, sebagai etika kultural yang perlu diskusikan. Hal demikian menjadi dasar untuk meletakkan arah bangsa yang berorentasi masa depan. Orisinalitas kebudayaan sebagai identitas promordial setiap bangsa, menjadi rujukan untuk mengarahkan suatu bangsa melalui catatan masa lalu, yang di bedah menjadi sebuah cara pandang kita memiliki nilai dan harus tumbuh dalam kehidupan berbangsa.
Dari asumsi awal di atas, Maluku Utara memiliki realitas sejarah secara objektif sebagai bangsa yang kuat, besar, dengan pluralitas agama,suku bangsa, dan kekayaan alam. Potensi ini mampu menghidupkan peganut agama, dan suku bangsa yang berbeda-beda hidup berdampingan. Namun realitas sosio-politk masih sangat jauh dari cita-cita bangsa ini. perekonomian buruk, bahkan hukum memihak dan berlindung di balik tirai kekuasaan.
Jika diamati, arah keluar bangsa ini dari krisis sungguh telah mengalami kekakuan, pincang, dan kebijakan yang dirumuskan oleh pejabat publik, kini tergores dengan tinta palsu dan janji manis. Rakyat yang berharap perubahan nasib hanya sebuah dongeng tidur bagi mereka. Yang lebih ironis adalah hutang makin meningkat dan korupsi semakin banyak. Ini bukan lagi rahasia umum, dan bisa dibaca dengan mata telanjang di media massa. Ini menjadi pelajaran besar bagi pejabat publik, dan seluruh generasi memiliki tanggug jawab yang sama.
Piet H. Khaidir dalam buku Nalar Kemanusiaan Nalar Perubahan Sosial, (2006:146) mengatakan, dalam tradisi kita hari ini, produksi kepemimpinan yang dilakukan oleh kepemimpinan formal politik (Sistem kepartaian) setelah beberapa kali diberi kesempatan dan peluang, mendemonstrasikan kebolehannya untuk proses pemajuan rakyat, ternyata mengalami kegagalan karena ketidakmampuannya. Ketidakmampuan itu ditandai oleh makin terpuruknya proses penciptaan “cleangoverment” dan “goodgoverment”.
Perdebatan dan Kewajiban
Pertanyaan kecil yang muncul, apakah pejajahan begitu indah sehingga kita senantiasa memberikan defenisi bahwa itu hanyalah masa kelam yang tidak seharusnya di tangisi, lantas pernyataan konyol apa yang perlu di pertanggujawabkan agar ide semacam ini perlu dipedebatakan?
Catatan kecil ini, bermaksud merangsang dan mengarahkan kita untuk kembali membaca sedikit tentang Maluku Utara secara emplisit, dari aspek kebudayaan maupun geopolitik. Lukman Yudho Prakoso dkk, dalam buku Goepolitik Dalam Konteks Keamanan Maritim (2024:6). mengatakan studi geopolitik membantu dalam memahami dinamika politik global, konflik antar negara, perubahan kekuatan, dan strategi kebijakan luar negeri. Ini menjadi alat penting bagi pembuat kebijakan untuk merancang strategi yang efektif dalam menghadapi tantangan geopolitik yang kompleks.
Dengan demikian, perdebatan kita sudah wajib lebih dalam membaca semua aspek tentang kebutuhan publik di Maluku Utara. di era post-truth, dimana kebohongan bisa menjadi kebenaran dengan memainkan emosi dan perasaan. Realitas tentang masifnya mobilisasi media sosial untuk menyebarkan narasi post-truth seperti hoaks dan ujaran kebencian. Salah satu metode melalui penyebaran propaganda kebohongan secara sistemik atau yang dikenal dengan firehose of falsehood. Sebuh bangsa dibentuk karena ada nilai fundamental yang hidup dalam ide, jiwa manusia yang dilupakan secara entitas. maka dasar itulah bangsa harus dijadikan sebagai jalan untuk menghantarakan setiap ras, agama, suku bangsa yang berbeda pada nilai kebersamaan.
Ini yang menjadi bagunan dasar. Dari sinilah kita akan menemukan bahwa seharusnya perdebatan kita saat bukan lagi membangun isu-isu konyol yang meretakkan bagunan kebudayaan. Hal ini dilihat ketika menjelang pertarungan Pilgub, Pilbup, dan Pilwakot atau peralihan kepentingan kekuasaan. Argumentasi politik yang dipakai adalah menyedutkan identitas suku, agama, dan ras. Ini menjadi pola konyol yang tidak mendidik masyarakat, justru nilai kebudayaan menjadi alat perang kelompok tertentu.
Munir Salim mengatakan, kondisi ini dapat dilihat dari kecenderungan terjadinya konflik antar individu, kelompok masyarakat yang berbeda agama, ras, suku/etnik, budaya, berbeda kepentingan, serta rendahnya moral penguasa seperti banyaknya kepala daerah dan anggota DPRD yang terjerat hukum akibat korupsi. Berkaitan dengan pemahaman nilai-nilai Bhinneka Tungal Ika yang sarat dengan integrasi nasional dalam masyarakat multikultural, nilai-nilai budaya bangsa sebagai keutuhan, kesatuan, dan persatuan negara bangsa harus tetap dipelihara sebagai pilar nasionalisme.
Pajaitanetal. dalam jurnal Analisis Politik Identitas Terhadap Pemilu (Studi Kasus Di Jalan Sering, Kelurahan Sidorejo, Medan Tembung, (2023:3) menjelaskan, politik identitas dianggap sebagai senjata yang kuat oleh elit politik untuk menurunkan popularitas dan keterpilihan rival politik atau upaya untuk mendapatkan dukungan politik dari publik. Isu etnis dan agama adalah dua hal yang selalu masuk dalam agenda politik identitas para elit di Indonesia, terutama kondisi masyarakat Indonesia di mana suasana primordialisme dan sektarianisme masih cukup kuat sehingga sangat mudah untuk memenangkan simpati publik, memicu kemarahan dan sentimen massa dengan menyebarkan isu-isu etnis, agama, dan kelompok tertentu.
Perdebatan ide, gagasan, serta argumentasi yang ilmiah mempesoalkan dinamika sosio-kultural dan sosio-politk kebangsaan, harusnya menjadi dalil bahwa bangsa ini mengalami krisis kejujuran. Artinya, sudah seharusnya kita mengkritisi isu-isu yang tidak produktif, yang mengarahkan pada perpecahan kultural. Saat ini, seolah-olah dinamika kebangsaan mendidik kita menjadi bisu untuk mengucapkan apa yang seharusnya terjadi. ***