Dunia Anak, Teater, dan Kerja Kultural Seorang Bahar Merdu

Sebarkan:
Teater Grisbon saat pentas La Coki

Oleh: Rusdin Tompo 

(Pegiat Sekolah Ramah Anak dan Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan)


Saya selalu terkesan pada orang-orang yang mampu menemukan dan mengembangkan potensi dan bakat anak-anak. Apalagi bila orang itu menunjukan dedikasi pada bidang yang dia geluti terkait anak. Perhatian kepada anak-anak memang harus intens dicurahkan agar kaki-kaki mereka yang rawan menemukan jalan terang menuju cita-citanya.

Dunia anak adalah bermain. Dalam bermain anak-anak bersosialisasi, belajar berinteraksi, dan berkomunikasi satu sama lain dengan temannya. Imajinasi dan kreativitas anak akan muncul setiap kali anak-anak bermain, sendiri maupun bersama-sama. Anak-anak bisa "menghidupkan" apa saja ketika dia bermain. Pasti kita ingat pengalaman main rumah-rumahan, masak-masak, atau membangun benteng, di masa kecil dahulu.

Anak-anak memang memiliki curiosity, keingintahuan yang besar. Mereka merupakan pembelajar. Dengan imajinasinya ia tergerak mencoba melakukan macam-macam hal kreatif. Maka, jangan heran bila mereka menjadikan kamar tidur, ruang tamu, dan teras rumah sebagai arena pertunjukan. Segala properti mainannya digelar di situ. Mereka riang saja menaiki kursi sofa atau meja yang baru dibeli, lalu melakukan gerakan-gerakan layaknya ia berada di panggung teater.

Respons kita, orang dewasa atau orang tuanya, bisa beda-beda. Ada yang tertawa melihat tingkah polos dan lucu anak itu. Ada yang mencemaskan anak itu kalau-kalau nanti jatuh. Orang tua yang tak paham akan menganggap anak itu nakal, tidak bisa diatur, karena akan merusak kursi sofa atau mejanya. Ujung-ujungnya ia kena hardik, bahkan kemungkinan akan dijewer. Namun, sejatinya ada bakat besar dalam diri si anak, yang butuh penyaluran.

*

Teater dan segala aktivitas berkesenian sangat dekat dengan dunia anak-anak. Sehingga mengajak anak-anak berteater sama saja membawa mereka pada habitusnya, pada kehidupan otentik anak-anak yang suka belajar secara holistik. Di teater anak-anak belajar olah tubuh, olah gerak, olah suara, olah pikir, olah rasa, juga olah budi. Raga dan jiwanya menjadi sehat.

Itulah mengapa Konvensi Hak-Hak Anak PBB (Convention on The Rigth of The Child/CRC) menyebut hak anak untuk bermain kegiatan-kegiatan rekreasi, serta untuk turut serta secara bebas dalam kehidupan budaya dan seni. Anak-anak bukan saja terlihat memainkan seni budaya itu tapi mereka ada di dalamnya, terlibat dan menjadi bagian dari proses pewarisan seni budaya itu sendiri. Seni budaya ditransmisikan dengan cara mempraktikkannya. Jadi anak-anak merupakan bagian dari ekosistem teater, kesenian, dan kebudayaan.

Dengan begitu, tak dapat disangkal, bahwa anak-anak mampu berpartisipasi dalam gerakan pemajuan kebudayaan sesuai usia dan kematangannya. Jadi, pilihan dan keikutsertaan anak-anak dalam teater atau jenis cabang kesenian lainnya, bukan sekadar menyalurkan minat dan bakatnya. Di sana pandangan-pandangannya tersalurkan, ekspresinya tersampaikan, dan pendapatnya menemukan wadah yang selaras suara hatinya. Dengan cara berkesenian, seperti dengan menulis puisi, cerpen, termasuk bermain teater, ia menegaskan eksistensinya.

Ketika berteater anak-anak akan terlatih berpikir kritis lewat naskah-naskah yang dipentaskan. Mereka akan dekat dengan bacaan karena ada sesi reading. Mereka belajar dialog, berkomunikasi, untuk menyampaikan pesan secara kuat dan tepat. Itu juga kegiatan literasi, yakni literasi budaya dan kewargaan.

Lebih dari itu, mereka belajar bagaimana bekerja dalam tim, menjaga kekompakan dan keharmonisan, demi mencapai tujuan bersama, yakni suksesnya pementasan. Ada nilai-nilai di sana yang akan terbawa dalam diri anak-anak yang berteater. Ada kebanggaan, rasa percaya diri dan tentu saja harga diri. Itu baru nilai-nilai dari sisi proses, belum lagi nilai-nilai yang diusung dalam cerita yang dipentaskan. Ada nilai budaya, juga gerakan advokasi.
Kisah sukses menggunakan teater sebagai sarana advokasi bisa dilihat pada Bela Studio yang membela anak-anak lewat teater. Bela Studio merupakan kelompok teater anak-anak di sebuah kampung di Rawamangun, Jakarta Timur. Kelompok teater ini dipimpin oleh Edi Haryono, yang pernah bergabung dengan WS Rendra di Bengkel Teater, Yogyakarta.

Mereka menampilkan cerita-cerita yang menggugah sekaligus menggugat dengan cara sederhana dan satir. Judul-judul pementasan drama musikalnya terasa ringan, seperti "Tikar", "Be-Be (Belajar Bicara)", "Tamasya ke Cakrawala", "Rebutan", "Ojek Payung", dan "Siapa Belum Mandi?" (MJA Nashir, 2001). Mereka tampil di berbagai panggung sampai stasiun televisi.

Walau begitu, sesungguhnya teater ini tidak hidup dalam gemerlap selebritas. Sebaliknya, mereka mengungkap kenyataan hidup anak-anak yang tinggal di lorong-lorong sumpek dan sempit. Tidak ada tempat bermain. Motorik halus anak tidak terbentuk. Anak-anak kemudian mengalami rabun jauh akibat menonton  TV terlalu dekat. Pasalnya, mereka tinggal di rumah-rumah yang kecil, dan sesak.

Potret miris kehidupan anak-anak yang diolah dan dibawa ke panggung teater itu, dalam konteks hot issue, menyuguhkan problem kemiskinin, tiadanya ruang publik dan ruang bermain ramah anak, serta marginalisasi dan potret pembangunan yang diskriminatif. Dari pemberdayaan dengan pendekatan teater yang dilakukan Bela Studio, tergambarkan bahwa persoalan-persoalan anak, termasuk pembelajaran mereka di sekolah, banyak terkait dengan lingkungan sekitar anak-anak itu berada.

Kisah Bela Studio yang saya baca ini, dalam suatu kesempatan, pernah saya ceritakan kepada Bahar Merdu. Sebagai orang teater, dia pasti mengetahuinya. Saya cuma mau berbagi saja, atas kesan mendalam saya terhadap pemanfaatan teater sebagai metode untuk memberdayakan dan membangun kesadaran kritis anak-anak. Oleh Bela Studio, teater juga digunakan sebagai medium menyampaikan kritik terhadap kebijakan yang tidak berpihak pada anak.

*

Bahar Merdu, lewat teater anak-anak GRISBON sudah lama melakukan kerja kultural melalui teater. Sutradara teater ini bahkan masuk kategori Maestro. Tahun 2019, ia menjadi bagian dari program Belajar Bersama Maestro, yang diadakan Kemendibud RI. Sederet penghargaan pernah diperoleh. Bahar Merdu merupakan penerima Celebes Award 2004, Sutradara Terbaik Festival Nasional Teater Remaja 2013, Sutradara Terbaik Festival Nasional Teater Anak-Anak 2015, dan Sutradara Terbaik Festival Nasional Teater 2016. 

Karyanya yang ikonik kita jumpai pada rombongan Sandiwara Petta Puang yang dibesutnya. Petta Puang menghadirkan sketsa hidup masyarakat dalam relasi kuasa atasan-bawahan, juragan-jongos, bangsawan-jelata, yang digambarkan secara karikatural dan jenaka. Saya beberapa kali menonton pertunjukan langsungnya di panggung. Idiom-idiom khas Bugis dan Makassar yang dilontarkan oleh para pemain, membuat kita tak kuasa menahan tawa. Walau begitu, terasa pula ada yang menggelitik di kuping. Namun kemasan kritik yang ditampilkannya tetap segar menghibur, tak sampai membuat hati panas.

Bahar Merdu yang menghimpun anak-anak tetangga di kompleks Griya Barambong ke dalam Teater GRISBON, kali ini memproduksi pertunjukan Teater Anak-Anak berjudul, LA COKI, yang didasarkan pada cerita rakyat "Meongpalo KarellaE". Kisah kucing dan tikus yang bersumber pada Sureq La Galigo ini akan ikut pentas dalam perhelatan festival multi-event, Makassar International Eight Festival and Forum atau F8 (Food, Fashion, Fusion Music, Film, Fine Art, Fiction Writers, Folks dan Flora-Fauna) yang diadakan Pemkot Makassar, Juli 2024.

Dengan mengangkat kisah kucing belang tiga yang dinukilkan dari cerita rakyat Sulawesi Selatan, merupakan suatu cara mendekatkan anak-anak pada karya sastra yang sudah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda Memory of The World oleh UNESCO itu. Tentu, anak-anak tak bakal hanya disuguhkan perseteruan kucing dan tikus layaknya film kartun Tom and Jerry, yang kejar-kejaran membalaskan dendam. Namun ada penggambaran budaya lokal di situ, ada pesan nilai dan kearifan yang diselipkan. Ada pendidikan karakter dengan pendekatan teater yang dinamis.

Perlu digarisbawahi bahwa cerita-cerita rakyat, dongeng, fabel, mite dan sejenisnya mengandung apa yang oleh David McClelland disimbolkan dengan "n-Ach". Kesimpulan McClelland sebagai psikolog sosial terhadap adanya virus butuh berprestasi atau the need for achievement, diambil setelah dia melakukan kajian terhadap cerita anak di Inggris pada awal Abad XVI serta dongeng dan cerita anak di Spanyol. Untuk menguatkan argumentasinya, dia lalu melakukan penelitian sejarah terhadap dokumen-dokumen kesusasteraan dari era Yunani Kuno, seperti puisi, drama, pidato penguburan, surat-surat yang ditulis para nakhoda kapal, kisah epik, dan sebagainya (Ismail Marahimin, dalam Titi WS, dkk, 2003).

Menurutnya, karya-karya sastra yang mengandung optimisme tinggi, keberanian untuk mengubah nasib, dan tidak cepat menyerah, berarti punya nilai "n-Ach" yang tinggi. Merujuk pada tesis McClelland ini, dapat dikatakan bahwa karya-karya sastra di Sulawesi Selatan, seperti epos I La Galigo, termasuk dalam kategori ini. Kisah Sawerigading yang berlayar dengan perahu Pinisi menjemput cintanya, We Cudai, menunjukkan semangat meraih impian, tak gentar menghadapi tantangan, dan berani menyeberangi badai samudra. Tak heran bila ada banyak diaspora Sulawesi Selatan di Indonesia, serta Asia Tenggara. Orang-orang Sulawesi Selatan bahkan sudah menjangkau benua Australia dan Afrika, sejak ratusan tahun lalu.

Manuskrip I La Galigo yang panjangnya 300.000 bait—terpilah dalam 12 jilid (6.000 halaman) yang setiap halamannya memuat sekira 50 baris—dengan muatan tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, kehidupan sosial budaya, pengobatan dan kesehatan, bahkan religi, memang perlu didekatkan kepada anak-anak sebagai salah satu upaya pemajuan kebudayaan. Anak-anak perlu diperkenalkan pada karya-karya sastra dengan pendekatan yang kreatif. Karya sastra yang penuh imajinasi, perlu ditafsir dan dialihwahanakan dalam ragam platform media.

Bahar Merdu, sependek pengetahuan saya, telah menunjukkan perhatian pada minat dan bakat anak-anak di bidang teater. Teater GRISBON merupakan buktinya. Lelaki kelahiran Makassar, tahun 1964 ini, mengelola teater anak tersebut dengan tekun. Itu apresiasi saya kepadanya. Tidak banyak orang yang intens membina dan memanggungkan anak-anak dalam pertunjukan mereka.

Biasanya, pertunjukan teater atau drama yang melibatkan anak-anak hanya dilakukan temporer dan sporadis. Anak-anak diajak terlibat kalau ada kegiatan tertentu di sekolah, ada lomba, atau pada saat perayaan pesta rakyat HUT Kemerdekaan Republik Indonesia, tanggal 17 Agustus. Tentu model penyaluran berkesenian serupa ini, belum dapat menjadi tolok ukur gerakan kebudayaan. Sebab, sekalipun ada aktivitas berkesenian, tapi tidak dirancang dengan strategi tertentu.

Pola sekali pertunjukan ini lebih memperhatikan bagaimana bisa tampil baik dan menarik. Kalau penampilan itu dalam rangka lomba maka menjadi juara adalah parameternya. Tampaknya, apa yang dilakukan ini mesti bisa dimaksimalkan lagi. Ruang-ruang untuk anak-anak berteater dan berkesenian seharusnya lebih terejawantahkan setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, dan diberlakukannya Kurikulum Merdeka yang mengakui keunikan dan potensi berbeda setiap anak. Apalagi di Makassar, di mana Walikota, Mohammad Ramdhan Pomanto, punya visi dan program “18 Revolusi Pendidikan”, yang salah satu poinnya menyebut bahwa satu anak satu bakat.

Sebelum mengakhiri tulisan sederhana ini, saya ingin mengucapkan selamat atas pementasan LA COKI oleh Teater GRISBON di panggung F8 yang masuk Kharisma Event Nusantara (KEN) 2024 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparegraf), sekaligus selamat atas terbitnya buku Catatan Kreatif Teater GRISBON. Semoga kerja kultural Bahar Merdu dan anak-anak Teater GRISBON memberi inspirasi bagi kita semua, terutama bagi anak-anak lain. ***

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini