Rusdin Tompo |
Saya salut pada Radio Republik Indonesia (RRI) Makassar. Sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP), RRI Makassar responsif terhadap isu-isu aktual, khususnya yang berkaitan dengan pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak.
Penilaian subjektif ini, berdasarkan pengalaman saya bersentuhan dengan para angkasawan RRI Makassar. Ada suatu peristiwa, ketika saya melontarkan ide nyeleneh, tapi segera disambut antusias.
Kejadiannya 8 tahun lalu. Suatu hari, menjelang Hari Anak Nasional (HAN), tahun 2016, saya ngobrol dengan Ulis Makabori, Kepala Bidang Pemberitaan, di RRI Makassar, Jalan Ri Burakne. Kepada Pak Ulis, saya sampaikan bahwa saya punya buku baru, judulnya "Menggugat Politik Perlindungan Anak". Menarik jika buku itu dilaunching dan didiskusikan di bawah kolong fly over Km 4.
Rupanya gayung bersambut. Pak Ulis tertarik setelah saya kemukakan alasan memilih lokasi itu. Saya katakan, launching dan diskusi buku "Menggugat Politik Perlindungan Anak" di situ ibarat membawa teks-teks buku pada konteks realitas sosial.
Di kawasan itu terdapat sejumlah aktivitas anak-anak yang menjadi concern tulisan saya dalam buku kumpulan artikel tersebut. Ada pedagang asongan, pengamen, pengemis, dan loper koran. Mereka biasa kita sebut sebagai anak jalanan (Anjal), yang termasuk salah satu bentuk-bentuk pekerjaan terburuk umtuk anak (BPTA).
Buku itu semula setebal lebih 500 halaman, tapi kemudian saya jadikan dua judul buku. Ketebalan buku menunjukkan luasnya tema bahasan dalam buku yang versi lengkap tersebut. Tulisan-tulisan saya yang semuanya sudah dimuat di media massa cetak itu, memang hendak menunjukkan bahwa dalam setiap persoalan ada isu anak di dalamnya. Anak-anak potensial menjadi korban. Di sinilah dibutuhkan perspektif anak. Namun, sayangnya anak-anak masih menjadi warga kelas dua.
Pak Ulis menyetujui gagasan itu. Tepat pada Hari Anak Nasional, Sabtu, 23 Juli 2016, siaran live diadakan menggunakan OB Van RRI Makassar. Mobil warna biru itu parkir dekat pos polisi yang berada pada sudut Jalan AP Pettarani-,Jalan Urip Sumoharjo. Dialog luar studio secara live diadakan pukul 09.00-10.00, disiarkan melalui RRI Pro1 frekuensi 94,4 FM.
Tim dari RRI Makassar, selain Pak Ulis, ada Sutati Sa'ban Miru, Hayati, dan Meisye Sahetapy (alm) yang jadi moderatornya.
Saya tak sendiri sebagai narasumber. Pembicara lainnya, yakni Aulia Yahya dari Ikatan Apoteker Indonesia Sulawesi Selatan, Rusdiaman dari Poltekkes Kemenkes, Makassar, dan Nur Alamsyah dari Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Toddopuli. PSMP merupakan lembaga rehabilitasi anak-anak yang bermasalah di bawah Kementerian Sosial RI, yang lokasinya di Salodong, Kecamatan Biringkanaya.
Karena kegiatan diskusi dan peluncuran buku ini bagian dari kampanye maka saya menggandeng orang-orang yang juga menaruh perhatian pada isu perlindungan anak. Ronald dari Anak Makassar Pakana-kana (AMP) Community bergabung. Dia dan teman-temannya mengerjakan poster-poster di Makkareso, Jalan Bau Mangga III. Makkareso saat itu baru dirintis sebagai wadah bagi pegiat literasi dan kegiatan kreatif lainnya.
Rahmat Sonny dan Dede Leman juga ikut dalam aksi simpatik yang kami gelar di bawah jalan layang tersebut. Ronald dan kawan-kawan AMP, serta saya dari LISAN, menyebut koalisi kami sebagai Gerakan Masyarakat untuk Perlindungan Anak, disingkat G_Emas Perak. Ini kolaborasi kami yang kedua setelah aksi damai stop kekerasan pada anak di fly over dan Pantai Losari, tahun 2015.
Seusai dialog, kami membagi-bagikan bunga dan permen kepada pengendara di kawasan yang jadi land mark Kota Makassar tersebut. Aksi yang mendapat liputan luas media massa, termasuk jurnalis televisi ini, bahkan dihadiri pula oleh Wakasatlantas Polrestabes Makassar, kala itu, Kompol Dr Masaluddin, SH, MH. Sebelum melaksanakan aksi, kami memang sudah menyurat ke Polrestabes Makassar, memberitahukan rencana aksi simpatik ini ke pihak Polri. *