Riswan Lagalante |
Pilkada serentak 2024 yang akan berlangsung dalam beberapa hari ke depan, menjadi momen penting bagi masa depan daerah. Sebagai bagian dari proses demokrasi, Pilkada harus dilaksanakan dengan jujur, adil, dan damai. Agar Pilkada berjalan dengan lancar, netralitas menjadi hal yang sangat krusial.
Tidak hanya bagi penyelenggara, tapi juga bagi aparat keamanan dan seluruh elemen masyarakat. Dengan menjaga netralitas, Pilkada bisa berlangsung dengan hasil yang benar-benar mencerminkan kehendak rakyat, tanpa intervensi yang merugikan.
Sepanjang sejarah Pilkada di Provinsi Maluku Utara, sejumlah pelanggaran dan permasalahan seringkali muncul, mengancam pelaksanaan Pilkada yang adil dan damai. Beberapa kasus yang cukup mencolok adalah pelanggaran yang melibatkan politik uang, intimidasi terhadap pemilih, dan ketidaknetralan aparat keamanan.
Pada Pilkada sebelumnya, terdapat beberapa laporan tentang adanya pengaruh politik yang kuat dari pihak tertentu, yang berusaha mengarahkan pilihan pemilih dengan cara yang tidak sah, termasuk distribusi uang untuk memenangkan kandidat tertentu.
Selain itu, beberapa laporan juga mencatat adanya intimidasi yang dilakukan oleh oknum tertentu yang memaksa pemilih untuk memilih calon tertentu. Sebuah pelanggaran yang sangat merusak integritas demokrasi. Peran Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu sangat vital dalam mendeteksi dan menindak praktik-praktik seperti ini, agar Pilkada tetap bersih.
Pada Pilkada sebelumnya juga, meski upaya untuk menjaga netralitas aparat keamanan sudah dilakukan, masih ada laporan mengenai keberpihakan aparat di lapangan. Dalam beberapa kejadian, pendukung salah satu calon mengklaim bahwa petugas keamanan terkesan lebih mendukung kandidat tertentu, sehingga menciptakan ketidakpercayaan di kalangan pendukung lainnya.
Belum lagi, ketegangan antar pendukung calon juga sering kali memuncak pasca-debat kandidat. Misalnya, dalam Pilkada yang baru saja berlangsung, debat kandidat menjadi ajang penting bagi masyarakat untuk melihat sejauh mana kredibilitas dan visi misi para calon. Namun, tak jarang, pasca-debat, ketegangan antara pendukung calon yang berbeda memunculkan insiden-insiden kekerasan atau kekacauan.
Salah satu insiden yang patut dicatat terjadi pada debat kandidat Pilgub kemarin. Dimana para pendukung salah satu calon saling berhadap-hadapan setelah debat, menciptakan kerusuhan kecil yang melibatkan tindakan saling serang.
Kejadian seperti ini bukan hanya merugikan pihak yang terlibat langsung, tetapi juga merusak citra Pilkada, dan menciptakan ketakutan bagi masyarakat yang berpotensi mengurangi partisipasi pemilih.
Meski demikian, bukan berarti situasi ini tak dapat dikelola. Di sinilah pentingnya peran aparat keamanan, lembaga penyelenggara pemilu, dan terutama masyarakat, untuk menjaga agar ketegangan yang ada tidak berkembang menjadi konflik besar.
Untuk memastikan Pilkada yang damai di Maluku Utara, diperlukan solusi politik kultural yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat dari tokoh agama, tokoh adat, hingga masyarakat umum.
Salah satu pendekatan yang efektif adalah mengedepankan prinsip "demokrasi kultural" yang menekankan penghargaan terhadap perbedaan, kedamaian, dan persatuan, terlepas dari latar belakang suku, agama, atau pilihan politik.
Tokoh agama dan tokoh adat di Maluku Utara memiliki pengaruh besar dalam membangun kedamaian sosial. Mereka dapat berperan sebagai penyejuk di tengah ketegangan politik, mengingatkan umat dan masyarakat untuk tidak terprovokasi oleh isu-isu yang dapat memecah belah. Mendorong mereka untuk berperan aktif dalam mengedukasi pemilih tentang pentingnya memilih berdasarkan visi, bukan sentimen negatif terhadap calon lain, akan sangat bermanfaat.
Lebih lanjut, masyarakat perlu diajak untuk berpikir kritis, tidak terjebak pada isu-isu hoaks atau fitnah yang seringkali muncul menjelang pemilihan. Kampanye yang lebih berfokus pada peningkatan kualitas hidup masyarakat melalui pembangunan sosial dan ekonomi dapat menjadi daya tarik yang lebih positif daripada kampanye hitam yang hanya mengundang permusuhan.
Untuk menghindari kerusuhan antar pendukung calon, pendekatan kolaboratif dalam penyelesaian konflik sangat penting. Jika terjadi ketegangan, dialog antar kelompok pendukung calon dapat menjadi solusi untuk meredakan ketegangan. Misalnya, melibatkan tokoh masyarakat yang dihormati untuk menjadi mediator antara kedua belah pihak yang berselisih.
Lembaga seperti KPU dan Bawaslu harus lebih tegas dalam mengawasi seluruh tahapan Pilkada, termasuk mengatasi potensi konflik yang muncul di lapangan. Mereka juga perlu bekerja sama dengan aparat keamanan untuk memastikan tidak ada pelanggaran yang terjadi, serta memastikan proses pemilu berjalan dengan transparan, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak pilih, dan pentingnya memilih secara bebas dari segala bentuk ancaman atau tekanan juga menjadi bagian dari solusi yang dapat diterapkan.
Jelas bahwa netralitas aparat keamanan harus dijaga dengan sangat ketat. Polisi, TNI, dan aparat lainnya harus bertindak secara profesional dan tidak terlibat dalam politik praktis. Jika terdapat laporan ketidaknetralan, harus ada tindakan tegas, untuk merawat kepercayaan masyarakat terhadap proses Pilkada.
Pilkada yang damai di Maluku Utara, bukan hanya tanggung jawab penyelenggara dan calon kandidat, tetapi merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat. Dengan menjaga netralitas, menghindari kampanye negatif, memastikan keberagaman dihargai, kita dapat mewujudkan Pilkada yang jujur dan damai.
Ini adalah momen yang sangat penting bagi masyarakat Maluku Utara untuk menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik. Meski berbeda dalam pilihan politik, persatuan harus tetap terawat demi masa depan yang lebih baik dan sejahtera. *