Sebagai negara maritim dengan jumlah pulau 17.380, (Badan Informasi Gospasial, 2024). Indonesia harus menegaskan posisinya sebagai negara kepulauan terbesar, dan penentu percaturan kepentingan ekonomi negara-negara besar. Indonesia memerlukan lompatan dalam memahami kondisi negara dalam aspek geopolitik.
Sebagai bangsa yang berbudaya tinggi, Indonesia membutuhkan sumber daya manusia, dalam mengelola dan menyatakan diri sebagai bangsa yang kuat dalam pengelolaan sumber daya alam pada sektor ekonomi hijau dan ekonomi biru.
Frederich Ratzel (1844-1904) dalam buku Antropo-Geografi merumuskan Teori Ruang disebutkan, "Bangsa yang berbudaya tinggi akan membutuhkan sumber daya manusia yang tinggi, dan akhirnya mendesak wilayah bangsa yang primitif". Pendapat ini dipertegas oleh Rudolf Kjellen (1864-1922) dengan Teori Kekuatan yang menyatakan, "Negara adalah kesatuan politik yang menyeluruh serta sebagai satuan biologis yang memiliki intelektualitas".
Dua teori ini, memberikan gambaran bahwa bangsa kita memiliki sumber daya alam dan budaya yang tinggi, namun bersamaan terjajah sebagai organisme yang tidak mampu mengelola sumber daya alam, intelektual, dan identitas budaya. Pada akhirnya kita dirampas oleh pihak asing, terutama dari hak kemerdekaan untuk mengelola sumber daya alam.
Dalam konteks geo-maritim, Indonesia tidak bisa terlepas dari Kawasan Timur Indonesia (KTI). Sebagai wilayah dengan posisi strategis dan kawasan maritim yang kaya sumber daya alam dan keanekaragaman hayati, terutama Maluku Utara dengan luas 32.998,70 km2, dengan jumlah pulau 837 (BPS Malut 2022). Bukan sekedar jantung peyuplai hasil pertembangan terbesar di Indonesia, tapi menjadi episentrum persaingan geoekonomi global.
Posisi yang strategis di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) III, menjadikan Maluku Utara sebagai jalur transit kapal tangker minyak dunia. Ini harus menjadi diskursus bagi kader HMI (Himpunana Mahasiswa Islam), agar menjadi mediator dalam menghubungkan kepentingan rakyat dan pengambil kebijakan, baik pusat maupun daerah.
Maluku Utara merupakan wilayah kunci dalam peta geopolitik Indonesia Timur. Dengan posisi strategis di persimpangan Samudra Pasifik dan Hindia, berada pada ALKI III, dan memiliki kekayaan sumber daya nikel yang menjadi rebutan global. Meski begitu, keamanan maritim masih lemah, dan ketergantungan pada investasi asing menjadikan Maluku Utara rentan terhadap intervensi geopolitik asing.
Untuk memastikan keamanan maritim Maluku Utara dan menjaga kedaulatan negara agar tidak rapu, diperlukan kapasitas keamanan terpadu dan penguatan ekonomi kelautan. Meski terdengar sulit, tapi paling tidak ada upaya melakukan perbaikan dan pengawasan keamanan laut.
Ancaman dapat terjadi kapan saja, mulai dari gerakan terorisme, aktivitas kapal asing berupa kapal selam, spionase maritim negara luar, illegal fishing, krisis iklim, dan masih banyak ancamn lain yang perlu ditangani pada sektor maritim.
Keterlibatan berbagai pihak mulai Pemda Provinsi Maluku Utara, TNI AD, TNI AL, Polri, Bakamla, nelayan, UMKM pesisir, dan organisasi mahasiswa dalam Sinergi Maritim Maluku Utara (SMMU), untuk menjaga stabilitas keamanan kawasan pada tingkat regional. Kita perlu pemahaman budaya maritim, konektivifitas maritim, ekonomi maritim, keamanan maritim, dan operasi maritim demi memastikan posisi dan peningkatan keamanan jalur laut.
Maluku Utara merupakan cermin masa depan Indonesia, meski begitu bisa disebut kaya tapi rapuh secara ekologis. SMMU bukan sekadar program atau kajian tanpa tindakan, melainkan gerakan mengembalikan maritim sebagai jiwa bangsa.
Jika Tiongkok punya "Untaian Mutiara", Indonesia harus membangun "Kalung Kedaulatan" dari Sabang hingga Merauke, melalui upaya kolektif dan sinergi antara berbagai elemen masyarakat. Masa depan maritim Maluku Utara harus direbut untuk kesejahteraan masyarakat lokal.
Pada aspek agraria, rantai pasokan nikel Maluku Utara memainkan peran penting dalam kepentingan global, baik dari perspektif geopolitik maupun geoekonomi. Dalam konteks geopolitik, nikel telah menjadi strategi komoditas yang mempengaruhi dinamika kekuatan global.
Negara-negara maju khususnya di Eropa, Amerika Utara, dan Tiongkok, bergantung pada nikel untuk memenuhi kebutuhan industri hijau mereka, seperti produksi baterai kendaraan listrik. Tiongkok sebagai pemain dominan dalam rantai pasokan nikel global, telah menanamkan investasi besar-besaran di Maluku Utara melalui perusahaan-perusahaan tambang dan smelter.
Eksploitasi sumber daya alam ini tidak hanya membawa manfaat ekonomi, tapi juga menimbulkan dampak sosial, budaya, dan ekologi yang signifikan bagi masyarakat. Dampak yang terjadi pada masyarakat dan lingkungan sangat ironis, sebagaimana laporan WALHI Maluku Utara 2020-2024.
Dari perspektif geoekonomi, eksploitasi nikel di Maluku Utara telah mendorong pertumbuhan ekonomi regional dan nasional. Pemerintah Indonesia telah memanfaatkan momentum ini dengan menerapkan kebijakan larangan ekspor nikel, untuk mendorong industrialisasi dalam negeri melalui pembangunan smelter.
Namun, kebijakan ini juga menimbulkan ketergantungan pada investasi asing khususnya dari Tiongkok, yang menguasai sebagian besar industri pengolahan nikel di Indonesia.
Meski secara makroekonomi kebijakan ini dianggap berhasil, dampaknya pada tingkat mikro khususnya bagi masyarakat lokal masih diperdebatkan. Data WALHI Maluku Utara menunjukkan sebagian besar keuntungan industri nikel tidak dinikmati oleh masyarakat lokal, tetapi oleh perusahaan-perusahaan besar asing. Ini menimbulkan ketimpangan ekonomi antara peningkatan ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat yang tidak imbang.
Lantas bagaimana peran HMI dalam menginisiasi SMMU sebagai respons kritis terhadap ancaman perlindungan kedaulatan negara dengan pendekatan geopolitik, ekonomi, dan keamanan?
HMI dapat berperan sebagai mediator antara masyarakat dan pemerintah daerah, dalam merumuskan kebijakan yang lebih inklusif. Dengan melibatkan pemuda dan mahasiswa dalam proses pembuatan kebijakan, dapat dihasilkan solusi yang lebih tepat sasaran untuk isu-isu maritim dan sosial-ekonomi.
Pada aspek pendidikan dan pelatihan, HMI dapat membantu pemerintah daerah dalam menyelenggarakan program edukasi dan pelatihan bagi masyarakat, khususnya bidang keamanan maritim dan pengelolaan sumber daya alam.
Program ini, bisa termasuk pelatihan teknik navigasi tradisional dan pengelolaan lingkungan. Juga terlibat dalam forum dan dialog antara pemerintah dan masyarakat, untuk membahas isu-isu kritis yang dihadapi daerah. Keterlibatan ini penting untuk memastikan suara pemuda dan masyarakat didengar dalam proses pengambilan keputusan.
Dengan memanfaatkan potensi kolaborasi ini, HMI dan pemerintah daerah dapat bersama-sama menciptakan solusi yang efektif dan berkelanjutan untuk menghadapi tantangan, sekaligus memperkuat ekosistem dan keamanan maritim di Maluku Utara. ***