![]() |
Asmar Hi Daud |
Polemik Dana Bagi Hasil (DBH), antara Pemerintah Kota Tidore Kepulauan dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara menjadi potret penting bagaimana relasi fiskal antar pemerintah daerah diuji.
Sejumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) Kota Tidore, menyatakan siap menggelar aksi damai menuntut pencairan DBH yang belum diterima selama empat tahun terakhir. Sebuah langkah yang tak lazim dalam tradisi birokrasi, "Aparatur daerah bersuara lantang atas nama tanggung jawab pelayanan publik".
Pun demikian, persoalan DBH ini bukan hal baru. Jauh sebelum pemerintahan Gubernur Sherly Laos, sejumlah kabupaten/kota di Maluku Utara juga mengalami situasi serupa.
Kota Ternate sempat menyoroti keterlambatan transfer DBH yang mengganggu ritme pelayanan dasar. DPRD Halmahera Utara pernah menemukan ketidaksesuaian antara data pusat dan realisasi penerimaan daerah. Halmahera Barat, Halmahera Selatan, dan Halmahera Tengah melaporkan pencairan yang tidak penuh. Sementara Pulau Taliabu, Kepulauan Sula, dan Pulau Morotai menghadapi ketidakpastian serupa.
Deretan pengalaman ini memperlihatkan bahwa polemik DBH bukanlah perkara insidental, melainkan masalah tata kelola fiskal yang belum tertata secara sistemik dan transparan.
Padahal, sejatinya DBH bukan sekadar kewajiban administratif. Ia adalah instrumen fiskal dalam kerangka hubungan keuangan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Dirancang untuk membagi pendapatan dari sumber daya alam atau pajak yang dihimpun di satu wilayah, DBH bertujuan memastikan distribusi hasil secara adil, memperkuat kapasitas fiskal daerah, dan mendorong pemerataan pembangunan.
Namun dalam praktiknya, mekanisme DBH kerap dililit persoalan akut seperti keterlambatan transfer, kaburnya metode perhitungan, hingga tidak sinkronnya data pusat dan daerah. Ketika dana yang seharusnya menopang pelayanan publik justru tertahan, maka yang terdampak bukan hanya APBD, tetapi juga legitimasi pemerintahan di mata rakyat.
Pernyataan Gubernur Sherly Laos yang menekankan pentingnya mekanisme berbasis regulasi dan audit fiskal patut dihargai. Namun, di tengah gelombang keterbukaan informasi publik, kepercayaan tidak tumbuh dari pernyataan normatif semata. Ia memerlukan transparansi. Data utang yang dibuka, jadwal pelunasan diumumkan, dan rencana penanganan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Dalam konteks ini, suara ASN Kota Tidore bukan bentuk pembangkangan. Justru sebaliknya, itu ekspresi dari nilai dasar ASN sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023, bahwa orientasi utama aparatur adalah pelayanan publik. Ketika hak-hak fiskal daerah terhambat dan pelayanan terhadap masyarakat terganggu, maka protes ASN menjadi manifestasi dari integritas, bukan pelanggaran disiplin.
Apa yang dibutuhkan kini adalah langkah konkret. Pertama, Pemerintah Provinsi perlu membuka data utang DBH secara transparan berapa totalnya, kepada siapa saja, dan kapan akan dilunasi.
Kedua, bentuk tim bersama kabupaten/kota untuk merancang skema pembayaran bertahap. Ketiga, libatkan BPK dan DPRD dalam proses pengawasan agar akuntabilitas terjaga.
Sudah waktunya membalik logika komunikasi antar pemerintahan dari yang berbasis hierarki menjadi berbasis kemitraan. Ketegangan bisa menjadi ruang refleksi. Tapi jalan keluar hanya akan ditemukan jika semua pihak mau duduk sejajar, membuka data, dan menyusun solusi bersama. Karena pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan hanya anggaran, melainkan kepercayaan publik.
Persoalan DBH ini, harusnya menjadi ruang refleksi, bukan sekadar panggung adu pernyataan. Relasi fiskal antar pemerintah daerah mesti dibangun atas dasar kemitraan, bukan dominasi.
Ketegangan bisa menjadi titik tolak perubahan, asal ada itikad terbuka untuk duduk bersama, menyusun langkah nyata, dan memperbaiki tata kelola fiskal ke depan.
Tekanan ASN Tidore sejatinya bukan untuk mengguncang stabilitas, tetapi untuk mengingatkan, "Dalam sistem otonomi daerah, keadilan fiskal adalah urat nadi demokrasi lokal". Ketika satu kota bersuara, provinsi sepatutnya menjawab dengan data, dengan komitmen, dan dengan tanggung jawab. ***