Melampaui Tangisan: Empati, Strategi, dan Harapan Baru (Merespons Tulisan Taufiq F. Pasiak, Menyimak Tangisan Gubernur Sherly Tjoanda)

Sebarkan:
Asmar Hi. Daud
Oleh: Asmar Hi. Daud
(Akademisi)

Tulisan Taufiq Fredrik Pasiak berjudul "Menyimak Tangisan Gub Sherly Tjoanda" yang dimuat di laman Perspektif, Cermat Maluku Utara (16 April 2025), menyuguhkan analisis yang cermat dan menarik. Ia membawa kita menelusuri jalur neurobiologis tentang bagaimana emosi ditiru, dipantulkan, bahkan ditransmisikan ke dalam kesadaran kolektif.

Konsep "mirror neuron" yang dibentangkan dengan sangat rinci memperkaya wacana tentang bagaimana politik bekerja di ruang afektif masyarakat. Namun, tulisan itu juga memancing pertanyaan lebih lanjut. Apakah politik hari ini cukup dijelaskan dengan teori neuron dan strategi dramaturgi? Atau ada dimensi lain yang mesti kita tengok secara lebih adil dan kontekstual?

Kemenangan Sherly Tjoanda dalam kontestasi Pilgub Maluku Utara 2024 memang tidak bisa dilepaskan dari kekuatan narasi emosional yang dibangun di tengah duka kehilangan. 

Tangisan di atas panggung—yang kemudian viral di media sosial—menjadi titik simpul penggalangan solidaritas, bukan hanya sebagai janda dari calon gubernur yang wafat, tetapi juga sebagai figur perempuan yang mengangkat harapan baru.

Tetapi menganggap semua itu semata hasil dari "peretasan" mirror neuron, bisa jadi menyederhanakan proses sosial-politik yang lebih kompleks dan partisipatif.

Apa yang tidak disorot secara penuh oleh Pasiak adalah bagaimana masyarakat Maluku Utara, dalam banyak hal, sedang mencari representasi baru—figur yang tidak hanya karismatik, tetapi juga membawa pendekatan empatik dan partisipatif.

Tangisan Sherly memang menggugah, tetapi ia juga hadir setelah serangkaian safari politik, dialog akar rumput, dan kerja-kerja jaringan dari relawan yang terorganisir dengan baik.

Bahkan sebelum air mata itu jatuh, sudah ada proses panjang membangun jejaring solidaritas perempuan, petani pesisir, nelayan, dan kelompok muda kreatif bersama mendiang suaminya, Beny Laos. Tangisan itu adalah penutup dari orkestrasi sosial yang jauh lebih besar, bukan satu-satunya instrumen.

Apakah itu berarti emosi dimanipulasi? Saya tidak sepenuhnya sepakat. Dunia politik tentu punya dramaturginya sendiri, tetapi tidak semua air mata adalah akting.

Dalam konteks Maluku Utara yang masih patriarkal, kehadiran Sherly justru menantang norma, dan ia melakukannya bukan lewat amarah, tetapi lewat empati. Bukankah itu juga bentuk kecerdasan emosional?

Banyak orang, bahkan di kalangan pendukungnya sendiri, masih menyisakan rasa tidak percaya: bagaimana mungkin seorang perempuan tanpa latar belakang politik konvensional yang kuat, mampu menembus tembok tradisi dan memenangkan kursi tertinggi di daerah ini?

Kemenangan Sherly adalah bentuk anomali positif. Di satu sisi, ia menantang tradisi politik maskulin yang selama ini mendominasi kontestasi Pilkada. Di sisi lain, ia juga menjadi simbol keberhasilan narasi emosional yang menyatu dengan keinginan publik akan perubahan.

Alih-alih hanya menjadi "Produk" dari mirror neuron, Sherly Tjoanda bisa dibaca sebagai pemimpin yang secara sadar membingkai emosinya sebagai alat komunikasi yang menyatukan. Kecerdasan emosional, dalam hal ini, bukan cuma respons afektif, tapi juga kemampuan membaca momentum, meresapi duka rakyat, dan menjadikannya modal sosial-politik yang sah.

Dan jika benar bahwa publik "terbawa suasana", bukankah itu justru menandakan bahwa masyarakat kita masih punya sensitivitas afektif (renspons emosional, motivasi dan keterlibatan perasaan)—bahwa kita tidak kebal terhadap penderitaan sesama? Di tengah politik yang kering visi dan sinis terhadap emosi, kemenangan Sherly justru menghidupkan kembali jalinan empatik di ruang publik.

Tulisan Pasiak penting karena mengingatkan kita untuk tidak larut dalam politik rasa yang membutakan nalar. Tapi ia juga menyisakan ruang bagi refleksi: bagaimana jika, dalam kondisi tertentu, rasa adalah jalan masuk menuju kesadaran kolektif baru?

Sherly mungkin bukan politisi sempurna, dan tangisannya bukan sihir. Tetapi ia berhasil menyentuh satu ruang sunyi dalam benak publik Maluku Utara: keinginan untuk dipimpin oleh seseorang yang hadir bukan sebagai penguasa, tapi sebagai sesama yang tahu cara menangis bersama rakyatnya. ***

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini