![]() |
M. Reza A Syadik |
Pasalnya, ore nikel yang sebelumnya merupakan milik PT Kemakmuran Pertiwi Tambang (KPT), harusnya menjadi barang sitaan negara, usai IUP PT KPT dicabut Pemerintah Provinsi Maluku Utara.
Hal ini disampaikan M. Reza A Syadik, aktivis Maluku Utara yang juga Ketua Umum PB-FORMMALUT Jabodetabek.
Menurutnya, 90 ribu ton ore nikel tersebut, harusnya dikelola negara melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), bukan oleh entitas swasta.
"Muncul pertanyaan, apakah PT WKM ditunjuk secara resmi oleh negara untuk mengelola atau menjual bijih nikel sitaan tersebut," ungkap Reza, Senin (14/04/2025).
Jika tidak, sebutnya, aktivitas penjualan oleh PT WKM dikategorikan sebagai pelanggaran hukum, termasuk dugaan penggelapan aset negara, tindak pidana korupsi, dan pelanggaran terhadap UU Minerba.
Reza meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), serta Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba), untuk mengevaluasi dan menjejaki langsung dugaan penyimpangan tersebut.
"Jika pemerintah pusat tidak segera turun tangan, maka dugaan persekongkolan antara perusahaan dan sejumlah oknum pejabat daerah semakin menguat," sebutnya.
Reza menambahkan, penjualan ore nikel tersebut juga menjadi tanggung jawab Polda Maluku Utara, sebab sejak Februari kemarin, Ditreskrimum Polda Malut disebut telah menyelidiki kasus ini, meski sampai April belum ada kejelasan status hukum PT WKM.
Ia pun menantang Kapolda Malut, untuk membongkar praktik-praktik kejahatan tambang di Wilayah Maluku Utara.
Ini dikarenakan, Pemprov Malut sebelumnya telah menetapkan dana jaminan reklamasi sebesar Rp 13,4 miliar kepada PT WKM, yang tertuang secara resmi dalam surat nomor: 340/5c./2018, sebagai bentuk kewajiban perusahaan atas kegiatan produksi 2018 sampai 2022, yang hingga kini hanya disetorkan Rp 124 juta.
"Siapa yang memberi izin PT WKM menjual hasil tambang milik pihak lain? Apakah Pemprov tahu, atau justru terlibat. Ini yang harus dibongkar," tegas Reza. (red)