Saat Polisi Belajar Komunikasi: Pelayanan Publik Butuh Empati

Sebarkan:
Asmar Hi. Daud
Oleh: Asmar Hi Daud
(Dosen Komunikasi dan Penyuluhan Pembangunan, Universitas Khairun Ternate)

Ketika Kapolres Ternate menghadirkan pakar komunikasi dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik, langkah ini bukan sekadar pelatihan biasa. Ia adalah sinyal kuat bahwa institusi penegak hukum mulai membuka ruang refleksi: bahwa tugas menjaga keamanan dan ketertiban tak bisa lagi dijalankan hanya dengan pendekatan koersif, tetapi juga membutuhkan sentuhan komunikasi yang empatik dan strategis.

Di tengah arus masyarakat yang semakin kritis dan partisipatif, aparat penegak hukum dituntut untuk bekerja tidak hanya dengan hukum, melainkan juga dengan hati.

Di sinilah ilmu komunikasi mengambil posisi sentral—bukan sebatas menyampaikan pesan, tetapi membangun relasi, menciptakan pengertian, dan memperkuat resonansi sosial antara negara dan warga.

Manajemen komunikasi dalam institusi publik seperti Polri tidak bisa lagi dipandang sebagai pelengkap. Ia harus menjadi bagian dari sistem strategis organisasi—mengalir dalam pengambilan keputusan, struktur internal, proses pelayanan, hingga interaksi langsung dengan masyarakat. Dalam konteks ini, pendekatan empatik bukan sekadar pilihan moral, melainkan kebutuhan manajerial.

Ketika aparat dibekali dengan keterampilan komunikasi empatik—seperti yang ditekankan oleh Dr. Aqua Dwipayana dalam pelatihan di Polres Ternate—mereka menjadi lebih dari sekadar pelaksana hukum. Mereka menjadi penghubung antara negara dan rakyat.

Polisi yang mendengar sebelum menindak, yang menjelaskan sebelum memerintah, akan lebih dihormati dan diterima, bahkan di situasi paling menegangkan sekalipun.

Kinerja pelayanan publik kini semakin tergantung pada kualitas komunikasi. Dalam ekosistem digital yang serba cepat dan transparan, satu kesalahan kata bisa menggerus kepercayaan yang dibangun bertahun-tahun. Sebaliknya, komunikasi yang jujur, terbuka, dan menyentuh hati mampu menjadi kekuatan restoratif yang membangun legitimasi dan citra lembaga.

Sejatinya keberhasilan pelayanan publik bukan hanya tentang apa yang dilakukan, tetapi juga tentang bagaimana kita mengkomunikasikannya. Di titik inilah komunikasi menjadi instrumen pelayanan, bukan sekadar pelengkap birokrasi.

Inisiatif Polres Ternate adalah pelajaran penting: perubahan besar bisa berawal dari keberanian untuk belajar. Belajar menyampaikan dengan rasa, bukan sekadar kata. Belajar mengubah perintah menjadi ajakan. Belajar membangun jembatan antara tugas konstitusional dan harapan masyarakat.

Sudah saatnya komunikasi ditempatkan sebagai fondasi utama reformasi kelembagaan. Di tengah kompleksitas sosial, budaya, dan politik hari ini, ukuran keberhasilan pelayanan publik tak lagi ditentukan oleh seberapa keras aparat bersikap, tetapi seberapa dalam mereka bisa menyentuh hati masyarakat.

Karena di era ini, kepercayaan bukan dilahirkan dari kekuasaan, tetapi dari komunikasi yang manusiawi. ***

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini