![]() |
Asmar Hi. Daud |
Penutupan tambang-tambang emas ilegal di berbagai wilayah Maluku Utara dalam beberapa pekan terakhir, patut diapresiasi sebagai langkah penegakan hukum. Kepolisian Daerah Maluku Utara, melalui kerja sama jajaran Polres dan Brimob, telah menindak sejumlah lokasi tambang liar di Roko (Halmahera Utara), Kusubibi (Halmahera Selatan), hingga Pulau Obi.
Tujuannya jelas: menyelamatkan masyarakat dari bahaya ekologis dan sosial yang ditimbulkan oleh praktik pertambangan tanpa izin.
Namun pertanyaan yang tak bisa dihindari adalah: Apakah semangat penyelamatan lingkungan ini berlaku adil bagi semua pelaku tambang?
Jika kita jujur melihat peta kerusakan lingkungan di Maluku Utara hari ini, dampak paling masif tidak datang dari tambang rakyat berskala kecil, melainkan dari operasi industri pertambangan nikel berskala besar yang berlangsung di Weda, Obi, dan wilayah lainnya.
Dalam diam, kawasan pesisir dan hutan lindung berubah menjadi kompleks industri berat. Lumpur tambang masuk ke sungai, ke laut, dan ke perut masyarakat yang hidup darinya.
Tambang rakyat dianggap berbahaya karena informal. Tapi tambang industri besar juga berbahaya, hanya saja formal.
Ironinya, negara hadir begitu tegas pada penambang kecil, tapi cenderung permisif terhadap perusahaan besar. Penegakan hukum menjadi selektif. Bahkan ketika AMDAL tambang-tambang resmi bermasalah, atau ketika terjadi pencemaran dan konflik agraria, suara masyarakat hanya dianggap angin lalu.
Inilah bentuk ketimpangan struktural yang justru memperkuat narasi bahwa negara, lebih melindungi modal besar ketimbang rakyatnya.
Lebih jauh, banyak penambang rakyat bukan pelaku kriminal dalam arti sesungguhnya, melainkan warga biasa yang terjebak dalam ketidakadilan ekonomi dan keterbatasan pilihan hidup. Penutupan tambang bagi mereka berarti kehilangan pendapatan, tanpa adanya jaminan pengganti. Lalu ke mana mereka harus mengadu? Bertani di lahan yang telah rusak? Melaut di pesisir yang tercemar?
Kita tentu tidak sedang membela tambang ilegal. Namun jika alasan utama penutupan tambang adalah dampak lingkungan, maka konsistensi moral dan politik harus berlaku untuk semua jenis tambang—baik yang ilegal maupun yang punya izin.
Sudah waktunya Maluku Utara punya kebijakan tambang yang bukan hanya taat hukum, tapi juga adil secara ekologis dan sosial.
Kebijakan yang tidak menempatkan warga kecil sebagai beban, dan tidak membiarkan investasi besar berjalan tanpa kendali. Karena sesungguhnya, lingkungan tidak mengenal status hukum: baik tambang resmi maupun tidak, jika merusak, tetap merusak.
Pertanyaannya kini bukan sekadar siapa yang ditutup, tapi siapa yang benar-benar dilindungi. ***